Kota Batu
yang dewasa ini dikenal sebagai Kota Wisata memiliki sejarah panjang
yang cukup menarik untuk dibahas, Ngalamers. Sebab jauh sebelum dikenal
sebagai Kota Wisata, Kota Batu awalnya masih merupakan sebuah daerah
pemekaran dari Kabupaten Malang pada 2001.
Kota Batu
merupakan bagian dari Dataran Tinggi Malang yang terbentuk dari endapan
lava yang menjadi danau. Sementara daerah Batu hingga Malang merupakan
cekungan dalam yang terbentuk oleh apitan gunung dan pegunungan. Tak
heran jika keadaan tanah di Kota Batu cukup subur.
Terkait dengan dinamika sejarah Kota Batu,
Pendiri Museum Malang Tempo Doeloe, Dwi Cahyono dkk, membagi
kesejarahan Batu menjadi lima masa. Yakni Masa Prasejarah, Masa
Hindu-Budha, Masa Penyebaran Islam, Masa Kolonial, dan Masa Kemerdekaan.
Masing-masing masa tersebut memiliki landasan kuat sebagai penanda
peradaban.
Sejak
abad ke-10, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat
peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan. Pasalnya, wilayah Kota Batu berada di daerah pegunungan yang memiliki hawa dan udara yang
sejuk. Terlebih lagi, pemandangan di wilayah ini sangat indah dengan
pemandangan alam sebagai ciri khas daerah pegunungan, Ngalamers.
Pada
waktu pemerintahan Raja Sindok, seorang petinggi Kerajaan bernama Mpu
Supo diperintah Raja Sendok untuk membangun tempat peristirahatan
keluarga kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air.
Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang
sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.
Lalu
atas persetujuan Raja, Mpu Supo yang konon dikabarkan juga sakti
mandraguna itu mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat
peristirahatan keluarga kerajaan dan membangun sebuah candi yang diberi
nama Candi Supo.
Ditempat peristirahatan
tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin dan sejuk
seperti semua mata air di wilayah pegunungan. Mata air dingin itu sering
digunakan mencuci keris-keris yang bertuah sebagai benda pusaka dari
kerajaan Sendok. Oleh karena sumber mata air yang sering digunakan untuk
mencuci benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan
supranatural (Magic) yang maha dasyat, akhirnya sumber mata air yang
semula terasa dingin dan sejuk akhirnya berubah menjadi sumber air
panas, Ngalamers. Sampai saat ini, sumber air panas itu masih menjadi
sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Sementara
menurut Dwi Cahyono, peradaban masa prasejarah Kota Batu ditandai
dengan temuan artefak jaman Neolitik dan Megalitik. Artinya, masyarakat
Batu saat itu sudah menunjukkan peradaban yang maju dengan ciri bercocok
tanam, Ngalamers.
Lain
halnya dengan masa prasejarah, masa Hindu-Budha di Kota Batu dulu lebih
terang benderang. Sebab sumber data teks maupun artefak yang ditemukan
lebih lengkap, baik dari masa Kerajaan Kanjuruhan hingga Majapahit.
Namun dalam perkembangannya, pengaruh Hindu-Budha kian memudar hingga
akhirnya digantikan oleh Agama Islam yang dibawa oleh Abu Ghonaim atau
yang lebih dikenal dengan Mbah Batu alias Mbah Wastu. Konon, nama "BATU"
diambil dari nama beliau, Ngalamers.
Pada
sekitaran tahun 1767 M, modernisasi Batu sebagai daerah baru mulai
tumbuh dan berkembang. Hal itu berbarengan dengan masuknya VOC dalam
membuka lahan perkebunan di Batu.
Kenyamanan
Batu sebagai wilayah hunian dan pertanian pun kian berlanjut hingga
masa kolonial Jepang. Sebagai bukti, banyak sekali ditemukan bangunan
gua bekas perlindungan tentara Jepang yang ada di wilayah Batu.
Dwi dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa"
menyebutkan, Batu mempunyai karakteristik yang resisten terhadap budaya
asing. Jika pada masa penjajahan banyak penduduk pribumi cenderung
tertekan, masyarakat Batu justru mengalami perkembangan dalam
strukturnya. Bahkan, pada masa itu banyak berdiri organisasi pemuda,
wanita hingga militer. Aktivitas semua organisasi itu pun bermuara pada
perlawanan dengan mengangkat senjata atas penjajahan kolonial,
Ngalamers.
Melalui
buku tersebut, Dwi merumuskan, kemajuan masyarakat Batu bisa dipupuk
dari tiga prinsip yakni, prinsip produktif, lestari dan sejahtera.
Ketiga prinsip tersebut dilakukan untuk mewujudkan Batu agar memiliki
solidaritas organik (Organic Solidarity), yaitu kemajuan yang berlandaskan kerja keras, mencintai alam dan kemakmuran bersama.
Terima kasih telah menunjungi Blo kami dan membaca artikel tentang Sejarah Kota Wisata Batu.
Bagi Anda yang sedang atau akan berlibur ke kota batu, untuk informasi penginapan yang dekat dengan pusat wisata batu klik disini..
Terima kasih telah menunjungi Blo kami dan membaca artikel tentang Sejarah Kota Wisata Batu.
Bagi Anda yang sedang atau akan berlibur ke kota batu, untuk informasi penginapan yang dekat dengan pusat wisata batu klik disini..
Posting Komentar